Powered By Blogger

Rabu, 09 Juni 2010

Mengenal Bentuk Berbagai Irisan Kerucut

AMBILLAH sepasang kerucut lingkaran tegak yang bertautan di kedua puncaknya. Bila kerucut tersebut diiris menggunakan sebuah bidang dengan sudut yang berbeda-beda terhadap sumbu simetri, akan didapati beraneka ragam kurva yang masing-masing dinamai lingkaran, elips, parabola, dan hiperbola. Dalam bentuk-bentuk yang istimewa juga dapat diperoleh sebuah titik dan garis-garis yang berpotongan.

Bagi orang Yunani Kuno, lingkaran adalah bentuk yang mulia dan melambangkan kesempurnaan. Filosof besar Yunani, Plato berpendapat, pergerakan sejati benda-benda langit dapat diterjemahkan ke dalam gerak melingkar seragam. Sampai dengan akhir abad ke-16, diktum ini menduduki tempat terhormat dalam astronomi.

Skema matematis yang menggambarkan gerak planet-planet di Tata Surya pernah dibuat Hipparchus, yang kemudian diperbaiki Ptolomeus. Dalam skema tersebut, setiap planet bergerak sepanjang keliling lingkaran yang disebut episiklus. Pusat episiklus ini juga bergerak sepanjang keliling lingkaran lain yang lebih besar (deferent) dan pusat lingkaran deferent berimpit dengan pusat Bumi yang diam. Paham ini banyak menimbulkan kesulitan. Bahkan penggagas teori Heliosentrik, Copernicus (1473-1543), masih menganggap orbit planet mengitari Matahari berbentuk lingkaran.

Astronom berkebangsaan Jerman, Johannes Kepler (1571-1630), berhasil menyederhanakan teori tentang pergerakan planet dengan memanfaatkan data observasi yang ditinggalkan Tycho Brahe. Setelah berjuang selama delapan tahun melalui perhitungan yang rumit dan 900 halaman folio dengan tulisan tangan yang kecil-kecil, akhirnya Kepler menyimpulkan, planet-planet bergerak dalam orbit elips dengan laju yang berubah-ubah. Kesimpulan ini yang kemudian dikenal sebagai hukum Kepler, merupakan langkah maju yang penting dari astronomi modern.

Bagaimanapun, hukum Kepler tersebut merupakan hukum empiris yang hanya berdasarkan hasil pengamatan. Pada abad ke-17 dengan menggunakan perangkat matematika kalkulus diferensial, Newton berhasil memberikan penjelasan fisis terhadap hukum Kepler. Dalam hukum gravitasi, Newton memperoleh persamaan irisan kerucut.

Suatu irisan kerucut dapat berupa lingkaran, elips, parabola, atau hiperbola. Karena elips adalah juga salah satu bentuk irisan kerucut, hasil ini membuktikan kesahihan hukum Kepler tentang bentuk orbit planet-planet mengitari Matahari. Dengan kata lain, Newton mampu menunjukkan, hukum Kepler merupakan akibat dari hukum Gravitasi.

Karakteristik yang membedakan keempat kurva irisan kerucut di atas adalah nilai dari konstanta positif yang disebut eksentrisitas. Eksentrisitas ini menyatakan perbandingan antara jarak PF (jarak dari suatu titik tetap yang disebut fokus F ke suatu titik lain P yang terletak di kurva) dengan jarak PL (jarak dari titik lain P yang terletak di kurva ke suatu garis L yang tetap yang disebut garis arah). Sebuah lingkaran memiliki nilai eksentrisitas sama dengan 0 (nol), elips di antara 0 dan 1, parabola sama dengan 1, dan untuk hiperbola semua nilai yang lebih besar daripada 1. Dari keempat kurva tersebut, hanya elips dan hiperbola yang memiliki dua buah fokus dan dua garis arah.

**

SEJUMLAH planet luar Tata Surya (extrasolar planets) yang ditemukan mengorbit bintang-bintang setipe Matahari diketahui memiliki orbit yang berbentuk lingkaran. Demikian pula dengan pesawat ulang-alik maupun satelit-satelit komunikasi geostasioner yang mengorbit Bumi. Sesuai namanya, satelit geostasioner ini memiliki orbit melingkar yang sejajar dengan ekuator atau khatulistiwa Bumi di ketinggian 35.800 kilometer. Satelit mengorbit Bumi dengan periode yang sama dengan periode rotasi Bumi, 23 jam 56 menit 41 detik. Posisi ini membuat satelit seolah-olah "terkunci", sebab ketinggian dan posisinya relatif dapat dibuat tetapterhadap wilayah di bawahnya.

Komet yang secara periodik mendekati Matahari adalah contoh benda langit yang memiliki orbit berbentuk elips. Demikian pula halnya planet-planet di Tata Surya, mulai dari elips yang hampir mendekati bentuk melingkar (nilai eksentrisitas mendekati 0) sampai elips yang agak lonjong yang ditandai dengan nilai eksentrisitas yang lebih besar. Bahkan pada sejumlah extrasolar planets dijumpai adanya planet dengan orbit yang memiliki eksentrisitas tinggi.

Pada orbit elips yang sangat lonjong tersebut kalor yang diterima planet dari bintang induknya mempunyai variasi sangat besar, yaitu 20 ampai 260 ari kalor yang diterima permukaan Bumi dari Matahari! Selain itu, bentuk elips juga dapat dijumpai pada bidang rekayasa, seperti dalam desain roda gigi mesin Wankel (Wankel engines) dan alat pemotong logam (punch press).

Sebuah sifat geometri sederhana dari kurva berbentuk parabola juga banyak diterapkan pada bidang teknik. Menurut fisika, bila seberkas cahaya tiba di suatu permukaan mengkilap, sudut datang berkas cahaya tersebut akan sama besar dengan sudut pantulnya. Dalam studi optika, inilah yang disebut hukum Pemantulan. Apabila sebuah parabola diputar mengelilingi sumbu simetrinya akan terbentuk sebuah permukaan menyerupai cangkir yang disebut paraboloida. Bila bagian dalam dari permukaan yang terbentuk dibuat mengkilap, berkas cahaya yang bersumber di fokus paraboloida dan mengenai permukaan mengkilap tersebut akan dipantulkan sejajar dengan sumbu simetri. Sifat inilah yang digunakan dalam pembuatan lampu sorot, di mana sumber cahaya ditempatkan di fokus.

Peristiwa sebaliknya dijumpai dalam astronomi. Teleskop optik yang menggunakan cermin paraboloida sebagai pengumpul cahayanya akan mengumpulkan semua cahaya yang datang dari obyek langit dan sejajar sumbu simetri ke arah fokus.

Mikrofon paraboloida yang dipakai untuk mengumpulkan bunyi dari bagian terjauh sebuah stadion sepakbola, misalnya, juga dibuat dengan memanfaatkan sifat di atas. Bunyi diketahui juga memenuhi hukum Pemantulan yang berlaku bagi cahaya. Jangan lupa dengan pelajaran fisika di jenjang SMA yang mengajarkan gerak peluru.

Bila gesekan udara diabaikan, lintasan sebuah peluru yang ditembakkan dengan sudut elevasi tertentu dari tanah akan berupa parabola. Kabel baja sebuah jembatan gantung berbentuk parabola. Busur juga sering berbentuk parabola. Demikian pula dengan komet-komet yang hanya sekali mendekati Matahari yang setelah itu tidak pernah kembali, lintasannya pun berbentuk parabola.

Bagaimana dengan kurva berbentuk hiperbola? Selain orbit parabola, komet-komet yang memiliki kecepatan dan massa yang cukup untuk mengatasi tarikan gravitasi Matahari juga dapat memiliki orbit berupa hiperbola. Sebuah sistem navigasi modern yang disebut LORAN (LOng RAnge Navigation) juga memanfaatkan bentuk kurva yang satu ini. LORAN digunakan untuk menentukan posisi kapal laut atau pesawat udara dengan cara menentukan beda waktu-tiba suatu sinyal radio yang mencapainya, yang dikirimkan dua buah pemancar tetap yang terpisah pada suatu jarak.

Sistem pemancar yang sudah disinkronkan tersebut terdiri atas stasiun utama dan stasiun pendukung. Stasiun utama akan memancarkan sinyal singkat ke kapal laut atau pesawat adara dalam selang waktu yang teratur yang akan diulangi stasiun pendukung. Gelombang radio yang memiliki kelajuan 300.000 km/detik ini bergerak dengan kelajuan yang sama dari kedua stasiun, namun menempuh jarak yang berbeda untuk tiba di instrumen penerima yang memiliki ketelitian sampai seperseribu detik.

Kedua sinyal yang dikirimkan tersebut setibanya di kapal laut atau pesawat udara akan dikuatkan dan ditampilkan di layar sebuah tabung sinar katode (Cathode-Ray Tube/CRT). Lokasi titik-titik dengan beda waktu-tiba tersebut direpresentasikan kurva hiperbola. Dengan cara demikian, lintasan kapal laut atau pesawat udara tersebut akan memotong sebuah hiperbola yang berfokus di kedua pemancar tadi.

Sifat optik irisan kerucut juga telah digunakan untuk menghasilkan lensa variabel sebagai pengganti lensa bifokal pada kacamata. Dimulai dari bagian atas, lensa diasah hingga eksentrisitasnya bervariasi dari kecil ke besar dengan bentuk irisan melintang mulai dari elips ke parabola sampai hiperbola. Kacamata jenis ini membantu penggunanya menghasilkan penglihatan yang sempurna terhadap benda di jarak berapapun hanya dengan memiringkan kepala. Menarik bukan?***

Minggu, 06 Juni 2010

Guru Kreatif Ciptakan Pembelajaran Asyik

JAKARTA, KOMPAS.com - Guru-guru yang mengutamakan kepentingan anak-anak dalam belajar harus mampu mendorong suasana belajar kreatif dan menyenangkan. Dengan menciptakan suasana belajar tanpa tekanan dan melibatkan peran serta anak didik, pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermanfaat bagi peserta didik.

Demikian terungkap dari perbincangan dengan sejumlah guru Matematika dan Sains tingkat SD dari berbagai Indonesia dalam acara Indonesian Science Festival 2009 di Jakarta, Minggu (2/8). Mereka mengembangkan alat dan metode belajar Matematika dan Sains yang sederhana dan dikemas dalam permainan untuk membantu siswa yang kesulitan memahami pelajaran yang harus dikuasai siswa. Kegiatan dilaksanakan pada 1-5 Agustus di Hotel Bumikarasa Bidakara.

M Mustofa, guru SDN Sapikerep 1, Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mengatakan siswa SD sulit belajar perkalian dan pembagian jika pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional yakni menghafal. Akibatnya, banyak siswa kelas VI sekalipun yang tidak hafal perkalian dan pembagian.

Berangkat dari tanggung jawab sebagai pendidik yang mesti bisa membantu siswa paham dengan pelajaran, Mustofa pun berusaha menciptakan metode menghafal perkalian dan pembagian yang tidak membuat siswa stres. Sejak tujuh tahun lalu, Mustofa memanfaatkan kartu domino sebagai sarana belajar.Setiap kartu domino dibagi menjadi dua bagian yakni jawaban dan soal perkalian atau pembagian. Siswa mesti menemukan soal dan jawabannya di kartu domino lainnya.

"Karena sifatnya permainan, anak-anak jadi senang. Dalam seminggu mereka bisa hafal perkalian. Jam istirahat pun mereka bisa bermain sambil belajar," katanya.

Mustofa hanyalah satu dari 20 guru Matematika SD lainnya yang dinilai layak berkompetisi secara nasional. Guru-guru kreatif lainnya juga mampu menciptakan cara belajar Matematika yang asyik, seperti memanfaatkan catur, belajar berhitung sambil bernyanyi, hingga ada yang memakai cara lomba lari estafet perkalian membawa kelereng.

Di bidang sains, M Hadi, guru SDN 28 Cakranegara, Nusa Tenggara Barat, memakai kaleng roti, bola pimpong, dan bola plastik untuk membuat siswa SD paham konsep terjadinya gerhana bulan dan matahari.

"Guru mesti bisa mengajarkan hal-hal yang abstrak menjadi nyata buat siswa. Cara belajar seperti itu sangat memudahkan siswa untuk memahami yang rumit dengan cara yang sederhana," kata Hadi.

Menurut Hadi, guru Indonesia sebenarnya mampu untuk kreatif menyampaikan materi pelajaran. Mereka hanya perlu didorong dan dihargai, sehingga semangat untuk memberikan yang terbaik buat siswa bisa tumbuh dalam diri setiap guru.

"Seringkali dalam pelajaran sains, pemerintah memberi alat-alat yang mahal dan rumit. Kalau rusak, guru nggak mengerti memperbaikinya. Yang ada alat-alat itu jadi mubazir. Yang perlu didoorng bagaiaman guru bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar sebagai alat belajar," kata Hadi.

Pada acara Indonesian Science Festival yang dilaksanakan 1-5 Agustus itu, siswa dari berbagai SD di Indonesia juga ditantang untuk bisa menampilkan buah karya dalam bidang sains dan matematika. Kreativitas mereka untuk memanfaatkan sains dalam memecahkan masalah ternyata cukup mengagumkan.

Para siswa SD itu antara lain mampu untuk membuat jebakan tikus listrik, alat deteksi gempa bumi, atau penggiling sambal sederhada. Di bidang Matematika, ada siswa SD yang mampu menciptakan cara untuk mencari bilangan prima 1-100 dengan mudah, ular tangga Matematika, atau tabel penyederhanaan pecahan.

Sabtu, 05 Juni 2010

MENGAPA ANAK ASIA LEBIH “PINTAR” DIBANDING ANAK AMERIKA?

Kita sering mengira bahwa anak-anak barat, terutama Amerika, serba lebih dari anak Asia. Tapi tahukan anda bahwa anak-anak Asia secara mutlak jauh berada di atas anak-anak Amerika dalam kemampuan matematis dan sains? Bagaimana itu bisa terjadi?

Banyak sekali penelitian-peneliti an psikologi di Amerika menyelidiki mengapa prestasi anak-anak Amerika keturunan Asia sangat menonjol di bidang akademis, terutama sains dan matematika. Salah satunya adalah yang meneliti bagaimana matematika diajarkan secara berbeda di sekolah-sekolah Asia dibandingkan dengan sekolah-sekolah di Amerika dan Inggris. Anda mungkin dapat menegok kembali, pendidikan matematika dan sains seperti apa yang anak anda dapatkan di sekolah?

Cara Guru Mengajarkan Matematika

Di Jepang, semua sekolah seragam dalam kurikulum dan rutinitas. Kebanyakan pelajaran dimulai dengan guru memberikan satu soal dan murid diminta untuk memecahkannya selama 10-15 menit, baik secara mandiri maupun berkelompok. Apabila sebagian besar siswa sudah menemukan setidaknya satu cara penyelesaiannya, guru kemudian mengajak semua siswa untuk mendiskusikan jawaban-jawaban siswa sampai menemukan solusi umum pemecahan jenis soal tersebut. Pada akhir setiap pelajaran, semua murid memperoleh waktu untuk menerapkan apa yang sudah dipelakari pada soal-soal latihan dari buku matematika mereka.

Sebelum memulai proses belajar, guru di Jepang selalu membuat perencanaan yang isinya bagaimana mengarahkan proses berfikir anak sehingga sesuai dengan topic yang dibahas maupun antisipasi guru terhadap respon siswa terhadap topik tersebut. Topic yang dibahas setiap kali pertemuan bersifat sinambung dan terfokus

Sedangkan di Amerika, pelajaran matematika lebih bervariasi. Guru-guru di tiap sekolah memiliki cara mengajar yang berbeda-beda, tidak seragam seperti di Jepang. Pelajaran tidak dimulai dengan pemecahan soal, melainkan siswa diberitahu cara menyelesaikan soal atau kadang dengan penjelasan konsep matematika. Topic juga bisa berganti-ganti selama pelajaran, tidak sinambung seperti di Jepang.

dari sini kita dapat melihat bahwa guru-guru di Jepang lebih menghargai proses berfikir siswa dengan mendorong siswa mencari penyelesaiannya sendiri, lalu membahasnya bersama. Pertanyaan-pertanya an yang diberikan oleh guru-guru di Amerika juga berbeda dengan guru-guru di Jepang. Guru-guru di Amerika lebih cenderung memberikan soal seperti "berapa panjang segitiga ini?" atau "berapa tigapuluh dibagi tiga?", jadi siswa diminta menyebutkan jawaban tanpa menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban tersebut. Sedangkan guru-guru di Jepang lebih sering member soal yang meminta penjelasan bagaimana jawaban diperoleh, misalnya " bagaimana kamu meemukan luas segitiga ini"? atau "mengapa luasnya 40 cm2?"

Kemudian, di Jepang, siswa, terutama di sekolah dasar, terbiasa diarahkan pada sesuatu yang konkrit dan ada di sekitar mereka. Misalkan, ketika belajar tentang segitiga, semua murid memegang benda berbentuk segitiga sehingga mereka dapat langsung membayangkan bentuknya. Di Amerika, biasanya gambar segitiga hanya ada satu, dan itupun diletakkan di depan kelas untuk didemonstrasikan oleh guru.

Buku Teks Matematika

Dari penelitian yang dilakukan terhadap buku teks matematika Jepang dan Amerika, ditemukan bahwa : (1) instruksi soal diberikan lebih panjang di buku-buku jepang daripada Amerika, sedangkan panjang soal latihannya hampir sama. (2) contoh-contoh soal tiga kali lebih banyak di buku Jepang daripada di Amerika , dan buku teks jepang selalu menggunakan contoh-contoh konkrit yang ada di kehidupan nyata, (3) buku teks Jepang selalu menggunakan ilustrasi yang berkaitan sedangkan buku teks Amerika sedikit memberikan ilustrasi dan adapula ilustrasi yang tidak berkaitan dengan soal, dan terakhir, buku jepang lebih menekankan hubungan antara representasi simbolis, verbal, dan visual dari suatu metode pemecahan daripada buku teks Amerika

Kepercayaan Orangtua dan Sikap Pelajar

Orangtua Jepang, dan sebagian besar negara Asia Timur percaya bahwa kerja keras adalah sebagian jalan menuju keberhasilan. Inilah yang ditekankan kepada anak-anak mereka. Sementara, ibu-ibu Amerika justru percaya bahwa prestasi sekolah yang buruk karena memang bawaan alamiah anak yang tidak mampu dalam bidang itu. Ini berpengaruh pada sikap anak dimana ternyata ditemukan bahwa anak-anak Asia memang lebih percaya bahwa keberhasilan diperoleh dengan kerja keras dibandingkan dengan Anak-anak di Amerika.

Hubungan Orangtua dan Guru

Di Jepang, guru sangatlah dihormati. Mereka bahkan menyebut guru sebagai sensei. Begitu pula di Cina, dimana guru disebut master atau di Jepang, guru disebut dengan seonsangnim. Guru sangat kenal dengan latar belakang anak didiknya, bahkan sering dimintai saran oleh para orangtua. Di Jepang, orangtua bersekutu dengan guru untuk membentuk anaknya. Sedangkan di Amerika, orangtua menyerahkan sepenuhnya pada guru dan apabila anak mereka tidak pintar, maka guru akan segera dipersalahkan. Selain itu, guru merupakan profesi yang tidak diperhitungkan di Amerika, mereka umumnya digaji rendah dan ini mengurangi apresiasi masyarakat terhadap guru. Yang menarik, di Indonesia, kondisinya lebih ambigu lagi, guru disebut dengan "guru" yang sebenarnya dari akar katanya setara dengan master, tapi digaji kurang layak…

Nah, itu adalah sebagian hasil penelitian bagaimana anak Asia dididik secara berbeda dibanding anak Amerika dalam hal penguasaan sains. Tak heran, produk-produk teknologi maju kini lebih banyak dikuasai oleh pemain Asia daripada Amerika. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberi sudut pandang baru bagi anda tentang pelajaran matematika bagi buah hati anda.